“Dan sungguh akan Kami berikan
cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa
dan buah buahan. Dan berikan kabar gembira kepada orang orang yang sabar,“
Satu persatu obor kebenaran padam dari medan ibadahnya. Prasangka tanpa
dasar ditengarai menjadi sumber terbelokannya niat untuk hidup benar. Ditambah,
tak terbangunnya komunikasi yang dialogis dengan kawan terdekat, menjadi pemicu
yang melahirkan sikap terdzalimi dan diam. Hingga akhirnya, api pun padam
karena embusan setan.
Wahai prajurit, ditegur jendral
adalah suatu kewajaran. Sebab beban yang dipikul pun lebih besar. Keinginan untuk
benar bersama-sama menjadi dasar mengapa sang jendral begitu mawas. Adakalanya,
Tuhan menampakan kerahiman-Nya dengan senyuman, tapi juga bila melihat para hamba
berjalan pongah, Ia pun tak segan bila harus menyapunya dari daratan.
Wahai prajurit, kalah dalam perang adalah suatu kewajaran. Sebab kedua
kubu memang berniat ingin menjatuhkan. Siapa yang lebih siap, tentu akan keluar
sebagai pemenang. Tak ada kata damai dengan setan. Makhluk licik itu kerap
meniupi telinga kita dengan bisikan-bisikan yang melenakan, hingga tak sadar
pembenaran yang selalu dilontarkan menutup akidah dan memanjangkan angkara. Pada akhirnya diam dan menutup diri atau
memutus tali silaturahim menjadi pilihannya yang tentu saja tak menjadi solusi.
Ada hal yang lebih fatal dari sekadar tak berkomunikasi dengan kawan. Bebas,
mungkin bisa ia rasakan. Tak terganggu, tak diganggu, dan tak mengganggu. Tapi demi
Allah, itu bukanlah pilihan. Sebab memutuskan untuk menutup diri, sama dengan
memutus hubungan dengan Tuhan.
Tak ada pahala yang bisa dituai, tak ada kebaikan yang bisa disemai. Apalagi
benih keberkahan yang ingin disebar. Hanya menumpuk kesia-siaan, dan
menghabiskan waktu yang nyatanya terbatas.
Percayalah, langkah itu bukanlah langkah terbaik. Memaafkan dan memaklumi adalah solusi yang bisa dilakukan agar kita bisa bersama-sama menjejak jalan merah ini
kembali.
Sidomukti, 27/01/14
~KK
0 komentar:
Posting Komentar