(pict. abuthalhah.wordp)

Figuritas ustadz kembali menjadi buah bibir. Selepas tayangnya video salah satu ustadz jebolan ajang pemilihan da’i dari salah satu televisi swasta itu, melakukan penganiyaan pada salah seorang operator sound system di sebuah acara. Video yang diambil dari situs Youtube yang berdurasi sekitar tiga menitan ini menjadi heboh. Selain karena di-blow up media, ramai-ramai pengguna akun jejaring sosial pribadi pun meng-copy alamat situs video tersebut (url), untuk disaksikan dan disebarkan secara lebih luas lagi.

Walaupun kabar terakhir dikatakan, kedua belah pihak sudah berdamai. Namun, karena aksi tersebut, ustadz berambut gondrong yang suka menyelipkan kata coy dalam aksi panggungnya ini, menuai kritik dan kecaman dari beragam elemen.

Sebagai publik figur, tentu perbuatan seperti itu, apa pun yang menjadi alasannya, tak sepatutnya terjadi. Apalagi dengan title, ustadz yang terselip di nama dan setiap panggilannya. Sorotan akan menjadi lebih tajam pada orang-orang yang memakai simbol dan atribut keagamaan (red. Islam). Ustadz juga manusia, tentu bukanlah alibi yang pas dan alasan yang bisa menjawab untuk menonelir perbuatan itu.

Kasus yang menyeret ustadz pun sebenarnya bukan yang pertama kali ini. Bila  kita masing ingat, terjadi perseteruan yang cukup miris antara salah satu majelis taklim di Hongkong dengan salah seorang ustadz kondang pada Desember 2013 yang lalu. Saat itu, mata media menyorot dan mem-blow upkasus ustadz bertarif. Kasus tersebut menjadi heboh karena bayaran yang diajukan terlampau tinggi untuk dijangkau. Walaupun pada akhirnya kedua belah pihak sudah saling islah dan mengklarifikasi. Namun, pandangan masyarakat terhadap ustadz, baik terhadapnya atau kepada yang lainnya, baik disadari atau tidak, kadung terdistorsi ke arah yang kurang bagus (red. tercoreng).

Kasus-kasus di atas, barulah kasus yang naik ke permukaan. Belum lagi yang terjadi di lingkungan sehari-hari dan tak tertangkap mata kamera. Bak pribahasa, karena setitik nila, rusak susu sebelanga. Karena hanya kesalahan dari seseorang, pandangan masyarakat terhadap seseorang atau ustadz khususnya, tergeneralisasi rusak.
Kondisi semacam ini, tentunya bila tak dibendung, akan seperti efek bola salju yang kian membesar. Karena kita juga jangan lupa, di sekeliling kita pun tak sedikit orang atau pihak yang membenci dan berhasrat menghancurkan Islam sehancur-hancurnya. Allah Swt., berfirman, (Sesungguhnya) Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (Q.S Al-Baqarah [2]: 120).

Menyerang dari sisi ini, bisa menjadi umpan empuk yang bisa memuluskan hasrat mereka menghancurkan Islam. Sebab, bila nilai atau rasa kepercayaan masyarakat terhadap ustadz saja sudah luntur, bagaimana nantinya masyarakat bisa menerima pesan-pesan Islam dengan benar? Lantas, ke manakah masyarakat mengadu kegundahan dan pertanyaan seputar keislaman  nantinya? Walaupun apa yang disampaikannya sesuai ayat Al-Quran, namun masyarakat tidak akan menerima begitu saja, sebab akalnya sudah menyangkal keberadaan orang-orang yang disebut ustadz. akhirnya akan muncullah fenomena sosial dekadensi kepercayaan terhadap ustadz. Naudzubillah.

Selain itu, serangan-serangan yang dilancarkan dalam rangka mengaburkan kedudukan ustadz, ramai-ramai media kapitalis menampilkan sosok orang-orang yang memakai atribut simbol keislaman, namun nihil atau minim keilmuannya. Akhirnya yang dimunculkan adalah, dia yang bisa meramaikan suasana pengajian dengan nyanyi-nyanyian atau memecah gelak tawa saja. Bahkan yang lebih ekstrim lagi, banyaknya para cendikia yang seolah memberikan pencerahan, tapi ternyata ia hanya membawa misi kehancuran Islam. entah itu paham Islam-liberal, Islam-substansial, atau paham sesat lainnya.

Dari fenomena tersebut, kiranya ini patut menjadi catatan kita bersama, (selaku muslim), untuk tidak bermain-main dan menyepelekan tanggung jawab dan amanah sebagai ustadz atau penyampai risalah Islam. Sepatutnya kita juga berhati-hati dan lebih selektif kembali, bila ingin menyandangkan gelar ustadz pada seseorang. Kultur latahisme yang masih menjamur di banyak kalangan juga perlu diubah pola pikirnya. Sebab tak semua yang bersorban laik digelarkan ustadz. Tak semua yang berjenggot bisa dipanggil syeikh.

Terlebih lagi, kepercayaan masyarakat yang telah mengamanahi panggilan tersebut, janganlah dibayar oleh kejumawaan. Sebab, sejatinya, seseorang yang berilmu, akan menganut asas padi, semakin berisi semakin merunduk. Semakin sering menyampaikan ayat-ayat Allah Swt., akan tercermin dalam kehidupannya potret ketawadhuan. Waulahu’alam. []

Bandung, 18/2/2014,
~Kevin Khomaeni


0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2012 Just Kevin / Template by : Urang-kurai