Genderang ‘perang politik’ kian mendekati waktunya. Para calon pemimpin dan
pemangku kebijakan makin gencar merayu, sesekali menyikut lawan sekadar
melakukan say war. Jelas sekali,
politisi demikian hanya mengejar kekuasaan dan harta sebagai sebagian pucuk
kenikmatannya.
Perubahan, adalah satu kata yang diusung calon manapun. Selalu seperti itu
dari satu pemilihan ke pemilihan yang lalu. Seakan menegaskan bila bangsa ini
tak bergerak sedepa bahkan sejengkalpun. Entah menyindir bangsa sendiri atau
karena memang hanya bisa menyinyir, sebab dalam ke pemerintahan sebelumnya pun,
tak sedikit dari mereka yang ikut bagian dan menjadi orang penting di dalamnya.
Dan kini mereka berbicara perubahan.
Sejatinya bangsa ini banyak mengalami perubahan. Ada yang membuat bangga,
lebih banyak yang membuat kita menunduk muka. Tentu saja hal ini bukan untuk
dicerca. Inilah yang akan menjadi pekerjaan semua elemen. Hanya yang perlu
direka kembali, ke manakah sauh perubahan ini akan dilempar? Sekadar perubahan
materi? Deretan indeks? Atau perubahan yang seperti apa?
Kiranya niatan ini dululah yang mesti disepakati tiap calon pemimpin atau
para pemangku kebijakan nantinya. Sebab bila tak ada satu kesepakatan, bangsa
ini hanya akan berputar-putar dalam pusaran kegamangan. Merasa sudah melakukan
banyak hal, namun tak ada satupun yang bermanfaat bahkan bangsa itu
sendiri.
Sayang, kata perubahan yang belakangan diusung semua tokoh politik saat ini
masih mengacu pada perubahan fisik dan material semata. Itupun sekadar mencomot
intisarinya lalu memeras kembali dan mencocokan kira-kira di mana nilai itu
bisa diletakan. Hingga ketika disepakati, nilai itu tak lagi memiliki
taringnya.
Bila kita dan para politisi berkenan kembali memotret arah perubahan yang
diusung baginda kita, Nabi Saw., lalu dijadikannya sebagai platform pergerakannya, tentu titik cerah akan tersibak di layar
mata. Sebab, perubahan yang diusahakan nabi, selain terarah juga menghasilkan,
Futhu Mekkah satu contohnya.
Penanaman tauhid adalah langkah yang ditempuh nabi. Di samping hal itu,
ditopang oleh akhlak yang santun. Belum pada perubahan fisik yang Rasul
tawarkan, melainkan mencoba membangun mental dan identitas kemusliman. Hingga
nyata perbedaannya, mana muslimin, kafirin, dan musyrikin. Selanjutnya,
kesejahteraan rakyat tinggal menghitung waktu. Sebab perubahan mental pasti
membawa pada perubahan fisik, tapi tidak selalu berlaku sebaliknya. Perubahan
yang dilakukan Rasulullah beserta para sahabatnya adalah perubahan mental, dan
terbukti perubahan fisik terjadi setelahnya.
Begitulah etika berpolitik nabi. Kiranya pesan dan track record-nya janganlah dipahami sebatas simbol dan perayaan
semata. Sebab politik harus dijalankan dengan bersih dan setia memegang
nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Inilah yang harus menjadi jalan kehidupan
para pemangku kekuasaan. Benar-benar mematri akhlak Rasul sebagai suri tauladan
dalam berpolitiknya (shidiq, amanah,
tabligh, dan fathonah).
Hal ini pula yang harus tercermin di dalam diri para tokoh politik negeri
ini. Sepantasnya para politisi memikirkan kembali tujuan mereka meraih
kedudukan, apalagi di tahun politik seperti sekarang ini. Sebab jangan sampai,
niat itu hanya mentok di ranah harta dan wanita semata.
Kekuasaan hanyalah cara. Tujuanlah yang memberikan arahannya. Tanpa arah,
sebesar apa pun kekuasaan yang dimiliki, tidak akan pernah berujung pada
kepuasan. Waullahu’alam []
Peru, 24 Februari 2014
~Kevin Khomaeni
0 komentar:
Posting Komentar