(pict. ilustrasi. bisnisjabar)



Rinai hujan basahi tanah Cikalong Wetan-Purwakarta, seakan ia turut tersedu-sedan menghantarkan jasad sang nenek yang akan dikuburkan. Sebuah potret ketabahan dari seorang Tati, di akhir hayatnya.

Berjuang sebatang kara, dalam kondisi papa. Jauh dari gelimang harta, juga kesan hura-hura. Tubuh renta itu terkulai di sebuah kasur kapuk yang sudah keras. Berselimutkan selembar kain lusuh. Berharap bisa mengusir dinginnya malam yang mengoyak kulit.

Debu-debu menempel cukup pekat karena lama tak dibersihkan. Begitu lamanya, hingga laba-laba dengan leluasa semakin memperbanyak koloni dan istananya. Sesekali tikus-tikus keluar dari persembunyian, menggerogoti apa pun yang ia mau. Termasuk menggerogoti luka sang nenek yang makin lama makin membusuk.

Angin malam keluar masuk begitu leluasa. Pasalnya begitu banyak lubang yang tak sempat disumpal. Atap rumah sudah banyak yang bocor. Bila hujan menyapa, air tak hanya membasahi pekarangan, tapi juga menggenang di beberapa sudut ruangan.

Itu baru kondisi di dalam rumah, di luar tak jauh berbeda. Rumah kecilnya terselip di antara bangunan lainnya yang cukup tinggi. Tak bercat juga tak dilapisi tembok yang kukuh, hanya susunan batu bata yang mulai keropos. Kayu-kayu lapuk menyangga beberapa atap. Rumput-rumput tinggi dengan banyak sampah di sekitarnya. Semua nampak tak terawat.

Siapa pula yang akan membersihkannya? Tak ada iba, sedikit yang peduli. Hingga Tuhan mempertemukan nenek sembilan puluh tahun itu dengan sekelompok pemuda berhati emas. Bernaung di bawah organisasi keislaman, pemuda-pemuda itu bergerak meretas kemiskinan dan berusaha menjadi garda terdepan pengayom kaum dhuafa.

“Selama dua tahun kami tinggal di Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, kami baru tahu ada seorang nenek yang kehidupannya tidak laik. Padahal jauh-jauh kami mencari kaum dhuafa, ternyata di sekeliling kami pun malah luput dari perhatian,” ungkap salah satu relawan, Ahmad (bukan nama sebenarnya).

Setelah mendapat kabar demikian, mereka langsung menuju rumah sang nenek. Bagi jiwa yang senantiasa dekat dengan Tuhan, tak ada hati yang tak tertampar dengan kemiskinan yang ada di pelupuk mata. Memprihatinkan.

“Kami merasa keberadaan sang nenek adalah ladang pahala. Kami takut bila menyia-nyiakannya Allah akan murka dan mengazab kami,” papar Ahmad mengenang.

Setelah dibentuk tim relawan, maka mulailah Ahmad beserta teman seperjuangannya merawat nenek. Bahkan istri-istri mereka pun dengan suka hati menyisihkan waktunya untuk sekadar menemani hari-harinya. Bila yang ikhwan bertugas membersihkan rumah, sedang yang akhwat menyuapinya atau memapahnya bila Tati ingin ke kamar mandi.

Hari-hari sang nenek tak lagi suram. Ada teman ngobrol dan bercanda. Tempat tinggalnya pun berusaha diperbaiki dan dibersihkan semampu mereka. Apa yang dilakukan relawan tersebut ternyata membuahkan hasil, Nenek Tati yang tadinya tak bisa berjalan, kini mulai bisa memapah dirinya. Raut pucat pasi ketika pertama bersua, berangsur cerah dengan senyum yang mulai mengulum.

Namun kondisi itu tak berangsur lama. Penyakit Tati yang kadung kronis membuat ia terkapar kembali. Dengan kondisi yang lebih mengkhawatirkan dari sebelumnya. Tati menderita penyakit dalam yang komplikasi, jantung, hati, dan ginjal.

Mereka pun sepakat membawa Tati ke rumah sakit. Awalnya ia bertolak ke rumah sakit terdekat. Namun karena terbatasnya peralatan medis, akhirnya sang nenek pun dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar, Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS).

Setelah mengurus berbagai administrasi, Nenek Tati pun mulai dirawat terhitung Ahad, 15/12/2013. Dengan tim yang hampir sama, mereka bergantian menemani sang nenek. Pun dengan para akhwat yang juga berkenan diminta bantuannya kembali.

Akan tetapi, hari demi hari kondisi Nenek Tati tak menunjukkan perkembangan, ia makin lemah. Hingga akhirnya empat hari semasa dirawat, tepat pada pukul sembilan pagi, Nenek Tati pun mengembuskan napas terakhirnya. Innalillahi wa inna illaihi rajiun.

“Sepeninggal almarhumah, amanah kami belum usai. Karena beliau hidup sendiri dan kami yang selama ini menemani hari-hari terakhirnya. Maka menjadi kewajiban kami pula untuk mengurusnya hingga menguburnya,”
Jauh hari sebelum kejadian tersebut, Lembaga Wakaf Dompet Dhuafa Jabar mengeluarkan program makam gratis bagi yang tak mampu, Firdaus Memorial Park namanya. Makam tersebut diresmikan pada Sabtu, 7 Desember 2013 yang awalnya diproyeksikan siap pakai di tahun 2014.

Kedekatan Ahmad dengan Dompet Dhuafa sendiri sedikitnya meringankan beban tim relawan dalam mengurus pemakaman almarhumah. Bersama tim Lembaga Pelayanan Masyarakat (LPM) Dompet Dhuafa Jabar, para relawan pun mengurus semua hal yang berkaitan dengan pemakaman. Sekitar pukul 02.00 WIB, setelah disalatkan, jenazah pun siap dibawa ke tempat pemakaman muslim, Cikalong Wetan-Purwakarta.

Senandung lafadz illahiyah sesekali dilantunkan. Beberapa orang yang lelah, tak kuasa menahan kantuknya. Satu setengah jam lama perjalanan berlangsung. Rintik hujan menyambut tim di lokasi. Setelah melakukan briefing dan pengecekan standar pemakaman, jenazah sang nenek pun akhirnya dikebumikan. Walau tak ada jerit tangis yang menghantarkan kepergian almarhumah, suasana khidmat tetap terasa, sebab yang dimakamkan pun adalah saudara seiman juga. Setelah nisan diletakan, sang nenek pun menjadi ‘penghuni pertama’ Taman Pemakaman Firdaus Memorial Park.

Tati, hanyalah satu dari sekian muslimah yang Allah tunjukan agar menjadi pelajaran bagi kita semua. Bahwa masih banyak di luar sana, Tati-tati lainnya yang perlu diperhatikan kehidupannya, kesejahteraannya, hingga akhir hayatnya. Sebab ihwal pemakaman pun, dewasa ini kerap menjadi momok permasalahan kaum tak mampu. Lahan yang sempit juga biaya yang mahal, seakan menegaskan kalau kaum dhuafa dilarang meninggal? []

*Sesuai yang dituturkan Ahmad, pada akhir Desember 2013 dan ditulis pada 4/01/2014

Bandung, 1 Maret 2014
~KK

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2012 Just Kevin / Template by : Urang-kurai