(pict. abuzahrakusnanto.wordp)

Sobat blogger, coba perhatikan iklan-iklan di media massa ketika mengucapkan selamat berpuasa atau berbuka. Ada kutipan kalimat yang menarik di sana. Biasanya, dalam ucapan tersebut suka disisipi pesan seperti ini, “semoga Allah menerima amalan shaum Ramadhan kita”. 

Lantas, apanya yang menarik? Sebab, di kalimat tersebut kita disadarkan pada posisi kita sebagai makhluk. Atau setidaknya, saya sendiri memahami kalimat tersebut sebagai bentuk pernyataan kehambaan kita di sisi Allah Ta’ala.

Sebagai seorang hamba, kita tidak pernah tahu akan jawaban akhir dari amal perbuatan yang kita lakukan, diterima atau ditolak. Mungkin bila diibaratkan, amal yang telah kita lakukan itu, seperti mengajukan judul saat kita memulai skripsi atau menyusun tugas akhir. Ada banyak standar yang harus dipenuhi, bila proposal yang diajukan itu mau diterima (red. acc).

Bayangkan saja, bila pengajuan judul tersebut kita buat seperti draft novel. Tentu saja ajuan tersebut akan ditolak sedari awal dosen pembimbing melihatnya. Sebab, tidak memenuhi standar kepenulisan karya ilmiah. Seolah setali tiga uang, saya rasa begitupun dengan amalan. Ada beberapa standar dan persyaratan yang harus ditunaikan agar apa yang kita lakukan tidak berakhir sia-sia.

Memang, tidak ada satupun yang tahu, apakah amalan yang telah dikumpulkan akan diterima Allah Swt. atau tidak. Selaku makhluk kita hanya bisa berharap. Tapi yakinlah, Allah tidak akan membiarkan kita gamang dengan persoalan seperti itu. Sebab Allah sendiri, telah memberikan sedikit bocoran mengenai hal ini.

Bila kita perhatikan, dalam perintah Allah selalu saja ada syarat yang mengiringi wajibnya seseorang melakukan hal itu. Dalam salat misalnya, syarat orang-orang yang dikenai kewajiban salat, yaitu bila ia seorang Muslim, baligh, berakal, suci dari hadast besar maupun kecil, baik diri maupun daerah salatnya. Satu saja syarat itu lepas, maka sudah dipastikan salat yang dilakukannya itu sebetulnya percuma. 

Misalnya salat yang dilakukan anak kecil. Hal yang menjadikannya tidak sah, karena usia baligh sekitar lima belas bagi laki-laki dan sembilan tahun bagi perempuan. Kurang dari itu, tentu saja belum memenuhi kriteria. Walau demikian, bukan berarti anak kecil tidak boleh salat. Pendidikan salat sedari dini, hanya untuk membiasakan dirinya mengerjakan perintah yang satu ini kelak. Pahala salatnya anak kecil, jatuh kepada kedua orang tuanya dan yang membimbingnya. 

Selain syarat, ada juga yang dinamakan rukun. Bila kita sudah menunaikan syarat yang menjadikan kita dikenai kewajiban perintah itu, rukun menjadi penentu sah atau tidaknya amalan yang kita perbuat.

Kembali pada contoh di atas, terdapat tiga belas rukun salat yang harus ditunaikan. Ada niat, takbiratul ihram, membaca al-fatihah dan sebagainya. Seperti halnya syarat, satu rukun saja lupa atau tidak dikerjakan, maka salatnya menjadi batal dan harus diulang. Misalnya saat salat kita tidak melafalkan niat, tentu saja selama apa pun salat yang dilakukan, tetap saja tidak bernilai di sisi Allah. Sebab, niat salat termasuk dalam rukunnya.

Saya kira pelepah rukun ini yang sering dilupakan atau diabaikan umat Muslim dalam beribadah. Seringkali saya melihat orang begitu tergesa-gesa dalam berwudhu, salat, atau tidak mengindahkan rukun dan syarat ibadah lainnya. Tentu saja harapan diterima amal ibadah yang seperti itu seperti fatamorgana di padang tandus.  Sayang sekali bukan?

Karena kita hanya bisa berharap akan diterimanya amal ibadah di akhirat kelak. Yuk, kita sama-sama mulai memerhatikan syarat dan rukun dalam beribadah. Kalau pun kita belum dan masih mencoba untuk memaksimalkan diri, setidaknya tunaikan rukunnya agar apa yang kita perbuat masuk dalam perhitungan Allah Swt.. Waulahu’alam  []

*Jiaaah berasa lagi ceramah,, maap yah.. ^_^

 Bandung, 20 Juli 2013
~KK~

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2012 Just Kevin / Template by : Urang-kurai