(pict. jawapos/bincangmedia.wordp)
Coba tengok fenomena perubahan di sekitar kita, pada
media massa misalnya. Adakah sesuatu yang berbeda dari yang biasa disajikan?
Ya, memasuki zona bulan Ramadhan ini, sajian media massa mendadak bernuansa
islami. Bahkan tempat-tempat maksiat yang sebelumnya sulit ditutup, seakan
mengerti dengan datangnya bulan suci ini, mereka dengan ‘rela’ sementara waktu
tidak beroperasi terlebih dahulu.
Bulan Ramadhan kerap menjadi sasaran empuk para
kapitalis dalam merauk untung yang lebih besar dari biasanya. Tentunya dengan
memberikan beragam sarana hiburan yang seolah-olah religius. Misalnya tayangan
sinetron yang tiba-tiba aktrisnya berkerudung, namun jalan cerita dari film
tersebut tetap sarat dengan kekerasan dan permusuhan. Atau para host wanita dalam acara gosip yang
biasanya mengumbar aurat, saat menjelang Ramadhan, tubuhnya dibalut jilbab yang
dipadu padankan dengan gaya zaman modern.
Perubahan ke arah yang lebih baik, memang merupakan
sebuah kondisi yang menjadi harapan bangsa ini. Namun apa jadinya bila
perubahan itu, terjadi secara mendadak? Atau terjadi hanya berdasarkan moment, seperti pada bulan Ramadhan ini?
Tentunya perubahan macam itu tidak akan bertahan lama, seiring moment yang dijadikan acuan itu usai
massanya. Seperti Inikah perubahan yang diinginkan?
Lihat saja tayangan televisi sekurang-kurangnya sepekan
selepas Idul Fitri nanti. Masih adakah program televisi yang pembawa acaranya
menggunakan gamis atau jilbab? Seperti yang mereka tunjukan seperti sekarang
ini? Atau masih adakah para pemilik dompet tebal yang berkenan mengadakan
konser tanpa menyuguhi penonton dengan kemolekan erotisme? Hampir semua
kondisi, berbalik seperti sedia kala.
Sobat blogger,
lantas bagaimana dengan shaum Ramadhan bila nanti telah usai? Masih bermaknakah
Tamu Agung itu, bila ternyata selepas dilatih Allah selama sebulan penuh, umat
Muslim tetap mengabaikan aturan-Nya? Merasa asing dengan ayat Alqur’an? Atau
masih bertuhankan hawa nafsu dan acuh terhadap sesama Muslim lainnya? Inikah
akhir Ramadhan yang diinginkan?
Bukankah Rasulullah SAW pernah berpesan dalam salah
satu khutbahnya, keberhasilan umatnya dalam menunaikan perintah shaum wajib
ini, bukan diukur ketika ia sukses menahan lapar dan dahaga pada hari itu saja.
Melainkan ketika seseorang itu dengan ringan hati menjalankan segala perintah
Sang Khalik selama sebelas bulan selepas Ramadhan. Maka teramat sayang bila
Ramadhan nanti, dibiarkan berlalu begitu saja. Terlenakan dengan menikmati
sajian para kapitalis religius.
Kiranya masyarakat Muslim Indonesia bukan lagi anak
kecil yang harus terus menerus dijejali teori keberkahan yang terkandung dalam
bulan Ramadhan tiap tahunnya. Seperti yang sering disyiarkan para ustadz
kondang di berbagai media massa. Sudah saatnya kita bangkit dan berlari dalam
meraih limpahan nikmat Ramadhan dengan mengoptimalkan tenaga, waktu, dan
pikirannya untuk mewujudkan islam sebagai cahaya bagi seluruh alam. [edited]
*tulisan
ini pernah dimuat di media online Bandung oke 2011
Bandung, 30 Juli 2013
~KK~
0 komentar:
Posting Komentar