(pict. mamarissetiawan.wordp)
Pernahkah kita memikirkan apa yang akan terjadi, seandainya kita dilahirkan dari keluarga (orang tua) yang tidak beragama Islam? Adakah kita bisa seperti sekarang ini? Apakah kita akan berusaha melakukan pencarian seperti para muallaf lainnya? Atau apakah kita akan tetap menganut manut sesuai agama orang tua (yang bukan Islam)?
Yang
jelas, jika kita dilahirkan dari orang tua yang non-muslim, sudah barang tentu
mereka akan mengajari kita apa yang mereka pahami (yakini). Baik itu Kristen,
Hindu, Budha, Yahudi sekalipun. Sebagaimana yang diterangkan Rasulullah Saw.
dalam hadits berikut: Sesungguhnya manusia itu terlahir sesuai fitrahnya,
adalah orang tuanya yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani. (H.R Muslim).
Coba
kita tengok beberapa saudara kita yang muallaf. Pada umumnya perpindahan agama
mereka dilandasi akan sebuah ketidakpuasan terhadap ajaran agamanya yang
terdahulu, baik itu secara hati, konsep, atau pelaksanaannya. Biasanya orang
yang seperti itu, akan lebih serius mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam
semaksimal ia bisa. Bahkan tak jarang, mereka lebih paham Islam, fasih bacaan
qur’annya, hafal ayat-ayat juga mengerti terjemahannya, dan berusaha
mengajarkan apa yang mereka pahami di lingkungan sekitarnya.
Sementara,
kita yang mengaku ‘Islam sejak lahir’, sudah sejauh mana? Apakah masih dalam
taraf ‘belajar terus’. Atau ada yang baru memulai untuk belajar. Atau justru,
kita acuh terhadap keberadaan Islam itu sendiri. Sebab, merasa ‘bosan dan
cukup’ dengan pembelajaran-pembelajaran keislaman dari orang tua dan
lingkungan. Naudzubillah, tidakkah kita merasa malu?
Coba
kita kembali ke pertanyaan awal di atas. Apa yang akan terjadi seandainya kita
dilahirkan dari orang tua yang bukan Islam? Apakah kita akan melakukan
pencarian seperti para muallaf tersebut?
Rasa-rasanya
kemungkinan hal tersebut sangat kecil. Mengapa? Jangankan melakukan pencarian,
untuk mempelajari atau memperdalam agama Islam yang sudah dianut saja, rasanya
sulit bukan main. Dengan ragam alasan tentunya. Tidak ada waktu, susah untuk
dipelajari, ketinggalan zaman, atau hal lainnya. Tentu bila, gaya berpikir itu
yang dikulum, maka kita tidak akan sempat atau mau melirik agama lainnya,
apalagi Islam yang terlabel dari luar ‘menakutkan’.
Pertanyaan
di atas, mari kita perlebar. Bila memang kita terlahir dari keluarga non
Muslim, lantas haruskah Islam adalah agama yang menjadi pelabuhan kehidupan
kita?
Banyak
yang beranggapan dalam menjalani agama itu yang penting berbuat baik saja. Toh,
pada dasarnya semua agama sama; menyuruh berbuat baik dan melarang berprilaku
buruk. Masalahnya, baik dan buruk di dunia ini relatif. Bagaimana mungkin, kita
bisa berpijak pada suatu sandaran hidup yang labil? Sesuatu yang benar bisa
jadi benar bisa salah, dan sesuatu yang salah bisa salah bisa juga benar?
Dalam
hal ini, kita harus berhati-hati. Ini bukan masalah sepele. Sebab ini sangat
bersinggungan dengan yang namanya aqidah ketauhidan. Salah dalam menentukan
keyakinan (pola berpikir), kita akan terjerumus dalam lubang petaka baik di
dunia ataupun akhirat.
Adakah
kita yakin, adanya kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini? Yang mana
kehidupan nanti, amat sangat bergantung pada bekal yang dibawa ketika masih
hidup. Adakah kita berpikir dengan adanya kita di muka bumi ini diciptakan oleh
satu sebab (tujuan) yang jelas? Bisakah kita menjawab untuk apa nabi-nabi,
rasul, dan para sahabat lainnya berjuang menegakan risalah Islam sampai
berkorban sedemikian rupa? Adakah tiap nabi (sebagai penebar risalah agama yang
ada di dunia ini, misalnya Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Ibrahim) membawa misi
yang berbeda-beda?
Bila
hanya untuk hidup baik, aman, tentram tidak ada percekcokan di bawah kendali
kejahiliyahan, mengapa pula seorang Muhammad bin Abdullah yang terkenal dengan
sifat al-aminnya, pada waktu itu tidak dipercaya bila dia adalah seorang Rasul
Allah? Dan melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj? Padahal, gelar al-Amin yang
beliau sandang, dikarenakan ia bisa mendamaikan beberapa kabilah suku yang
nyaris ingin berperang. Mengapa dengan gelar itu, ia masih tidak dipercaya bila
ia membawa sebuah solusi untuk meretas ketidak adilan yang terjadi di Arab
ketika itu? Tapi dilain sisi, banyak kaum quraisy yang bermua’malah dengan
beliau sehari-harinya, katanya sihir? katanya gila?
Bila
dalam hidup ini yang penting berbuat baik, kurang baik bagaimananya Abu Thalib,
pamannya rasul, yang sudah melindungi keponakannya itu sampai titik embusan
nafas terakhirnya, tapi tetap digariskan masuk neraka?
Menarik
pertanyaan ke zaman sekarang, mengapa para ilmuwan banyak yang menyatakan
keislamannya, setelah melihat adanya satu kecocokan dan keselarasan antara ilmu
yang ia geluti dengan kitab orang-orang muslim? Sungguh pertanyaan-pertanyaan
di atas akan semakin mengerucutkan pada suatu kesimpulan, ada sesuatu yang
menarik dalam Islam, ada misteri yang ingin Allah tampilkan seakan menegaskan
hal-hal itu semua tidak akan bisa dijawab, bila tak merujuk pada hal-hal yang
terkait dengan Islam itu sendiri.
Dalam
kitab-Nya, Allah menegaskan bila Al-Qur’an bukan saja sebagai petunjuk umat
Muslim. Tapi harus menjadi petunjuk hidup seluruh manusia, tanpa kecuali. Sebab
bila tidak begitu, amal perbuatan yang dilakukan, sebanyak apa pun atau sebaik
apa pun, tetap dalam pandangan-Nya bagai abu yang tertiup angin, bagai
fatamorgana di padang tandus, bagai tepukan dan siulan semata.
Jadi
betapa sia-sianya amal kebaikan yang sudah dilakukan, seandainya kita mati
dalam keadaan kufur. Sungguh sangat menakutkan, hal yang akan menimpa
orang-orang yang tak mau mencari untuk mendapatkan agama yang sempurna. Lebih
menakutkan lagi, bila kita terlahir dari keluarga yang Islam, akan tetapi tidak
mengetahui nilai-nilai keislaman, merasa betah dengan adat kejahiliyahan, tanpa
ada satu upaya mendobrak dalam rangka menunaikan perintah-Nya.
Kembali
pada pertanyaan di atas, seandainya kita terlahir dari orang tua yang tidak
Islam, apa yang akan kita lakukan? Bila memang kita terlahir dari keluarga
non-Muslim, lantas haruskah Islam adalah agama yang menjadi pelabuhan kehidupan
kita? Ataupun untuk kita yang Allah beri kemudahan dalam berislam, apa yang
sudah kita perbuat untuk menyelematkan diri ini dari segala kesia-siaan? []
*dirangkum dari buku
“Mengislamkan Orang Islam” karya Sujana WS;
(Qultum Media, Jakarta :
2011, hlm 35-43)
Peru,
09/10/13
~KK
0 komentar:
Posting Komentar