Senyum hangat tak lagi terpancar di wajah sang istri ketika ia pulang dari pekerjaannya. Sebagai seorang sekertaris di sebuah perusahaan, tentu saja beban pikiran istri cukup berat, selain berkutat soal pekerjaan, ia juga harus bisa membagi waktu dengan keluarga, Apalagi sore sebelum ia pulang, ia baru saja dimarahi atasannya karena hal yang menurutnya sepele.

“Ada apa sayang, kok pulang cemberut gitu?” tanya sang suami membuka percakapan.
“Gak apa-apa Yah,”
Sang istri mencoba menutupi kekesalannya. Namun isyarat tubuh tak bisa dibohongi, sang suami mengenal betul bagaimana watak istrinya itu. Bagaimana tidak apa-apa, kalau tidak ada apa-apa mengapa juga ekspresi wajahnya terlihat seperti memendam amarah.
Melihat istrinya yang begitu kelelahan, dengan baik hati ia membawakan segelas air untuk istri tercinta.
“Ibu pasti haus, nih Ayah bawain minum,” ucap sang suami sambil menyodorkan segelas air.
Melihat perhatian sang suami, emosi si-istri sedikit mereda. Senyum mulai merekah mewarnai wajahnya. Sambil tersenyum, ia menerima sodoran gelas tersebut. Lalu meneguknya hingga habis.
“Haus Bu?” tanya sang suami sambil tersenyum geli. Sedang yang ditanya kembali tersenyum. Kini istrinya telah kembali.
Sejenak berpikir, lalu sang suami kembali bertanya, “Ibu tau gak, berapa berat segelas air itu?”
“Berat? Gak tahu,” jawab sang istri yang belum mengerti maksud dari pertanyaannya.
“Iya, berat air. Kira-kira ada gak 200 atau 500 gram, gitu?” pancing sang suami kemudian.
“Mungkin, bisa jadi. Emang kenapa gitu, Yah?” sang istri bertanya kembali sambil melihat gelas tersebut.
“Kalau menurut Ibu 500 gram, berat atau ringan?”
Pertanyaan sang suami kembali bertambah, masih tentang berat tapi kali ini dengan subjek yang berbeda.
“Ringan,”
“Eum, kalau ringan, berarti bisa gak ibu memegang segelas air ini selama lima menit?”
“Bisa!”
“Kalau lima jam? Lima hari? Lima tahun?” cecar sang suami. Sang istri nampak kebingungan maksud dari pertanyaan tersebut. Jelas itu adalah hal yang tidak mungkin untuk memegang gelas selama itu. Kalaupun iya, tentu akan sangat melelahkan.
“Maksud Ayah gimana sih?” sang istri mulai tak sabar.
“Gini, inti pertanyaan tadi bukan pada berapa berat air yang akan dipegang. Tapi berapa lama kamu bisa memegang gelas tersebut. Seringan apa pun suatu berat, itu bisa saja membuat kita pegal untuk memegangnya bila dalam jangka waktu yang lama,” papar suami tenang. Sedang sang istri masih manggut-manggut berusaha mencerna apa yang tengah dijelaskan.
“Begitupun dengan hidup. Setiap orang punya beban hidup yang ditanggung, kapanpun di manapun, berat atau kecil. Tapi beban atau masalah yang kecil sekalipun bila kita mengulumnya terlalu lama, tentu saja kita tidak akan bisa membawanya, toh?” kini anggukan sang istri semakin dalam.
“Lantas bagaimana caranya agar beban yang tengah memberatkan pikiran ini tidak menjadi masalah yang berkelanjutan?” lanjut sang suami.
“Gak tahu,”
“Yang harus dilakukan hanyalah istirahat dan menyimpannya sejenak. Karena kita tidak mungkin lari dari beban itu. Bila memang beban itu adalah hal yang bisa dibagi pada orang lain, mengapa tidak. Tapi bila itu adalah beban yang hanya boleh dibawa seorang diri, maka sesekali kita perlu rehat untuk mengumpulkan kekuatan agar bisa mengangkat masalah yang tengah membebani tersebut,”
 Kini sang istri mengangguk setuju. Terbesit pula maksud dari suaminya menceritakan hal itu. Inti dari hal yang ingin disampaikan suami, kalau punya masalah sekecil apa pun jangan terus menerus dibawa. Lambat laun akan merasa lelah dengan sendirinya. Ia pun tersadar atas perbuatannya ketika masuk rumah yang masih membawa masalah kantor. “Maafin ibu yah, tadi pas pulang malah menampakan wajah yang cemberut. Tadi ibu kesal soalnya si-bos marah-marah gak jelas,” ungkap sang istri sambil menyenderkan kepalanya ke bahu sang suami. []
terinspirasi dari buku stephen covey

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2012 Just Kevin / Template by : Urang-kurai